Hai Kawangadget – Pengelolaan Sampah Elektronik? Pada era dimana banyak sekali kegiatan dibantu dengan gadget dan elektronik ini, tentu saja konsumsi elektronik meningkat. Di Indonesia sendiri, tercatat pada Quartal I pada tahun 2018 konsumsi elektronik mencapai angkat Rp. 39,16 Trilyun, sedangkan pada Quartal II naik 3,03%, mencapai 40,35 Trilyun.
Bisa dibilang konsumsi tersebut cukup besar, lalu kemana perginya barang elektronik tersebut ketika sudah rusak dan tidak dipakai lagi? Tentu saja menjadi Sampah Elektronik. Dengan tingkat konsumsi tersebut, bisa dibilang sampah elektronik di Indonesia sangat banyak.
Sampah elektronik adalah barang elektronik yang mana sudah tidak berfungsi sehingga tidak terpakai atau tidak diminati lagi, lalu menjadi barang bekas dan perlu dibuang, dalam keadaan utuh ataupun tidak.
negara-negara di benua Asia menyumbang sampah elektronik paling banyak dengan jumlah sekitar 25 juta ton. Menyusul kemudian Amerika yang menyumbang sampah elektronik sebanyak 13 juta ton serta Eropa yang menyumbang 12 juta ton. Adapun gabungan sampah elektronik yang dihasilkan di kawasan Afrika dan Oceania tercatat sekitar 3 juta ton.
Berdasarkan data The Global E-waste Monitor 2020, pada tahun 2019 diseluruh dunia menghasilkan sampah elektronik total kurang lebih 53 Juta Ton. Dimana negara-negara benua asia menyumbang 25 juta ton.
Kemudian Amerika menyumbang sampah elektronik sebanyak 13 Juta Ton. Pada negara Eropa menyumbang 12 Juta Ton. Kemudian gabungan kawasan Afrika dan Oceania menyumbang sampah elektronik sebesar 25 Juta Ton.
Untuk kasus Indonesia, dilansir dari Greenpeace, Indonesia menghasilkan 812 kiloton sampah elektronik pada tahun 2014. The Global E-waste Monitor 2020 (Forti et al., 2020), menyebutkan bahwa di tahun 2019 Indonesia menghasilkan 1618 kiloton sampah elektronik.
Dengan kontribusi sampah elektronik sebesar itu, lantas bagaimana pengelolaan sampah elektronik tersebut di Indonesia?
Di Indonesia sendiri, secara teknologi belum mumpuni untuk mengelola sampah elektronik. Walaupun beberapa peraturan sudah dibuat tentang pengelolaan sampah seperti tertuang pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 27 Tahun 2020 tentang Pengelolaan Sampah Spesifik.
Namun faktanya, pengelolaan sampah elektronik di Indonesia belum jelas. Dari tingkat pemerintah daerah juga belum ada interest untuk mengelola sampah berbahaya tersebut. Hanya ada beberapa daerah yang sudah mencoba mengelola sampah elektronik.
Lalu apa yang bisa dilakukan oleh masyarakat untuk membantu dalam mengelola sampah elektronik ini? Jawabannya adalah tidak bisa. Alasanya dikarenakan butuh pengelolaan yang tepat untuk menangani limbah tersebut.
Jika kita meninjau Nomor 101 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3), pengelolaan dari sampah elektronik harus secara khusus dilakukan oleh pihak-pihak yang memiliki izin.
Jadi tidak bisa secara sembarangan dikelola. Selain memang butuh treatment khusus, karena memang sampah elektronik termasuk limbah yang berbahaya dan beracun. Sebenarnya sudah ada beberapa perusahaan pengolah sampah elektronik yang tersertifikasi di Indonesia. Namun jumlahnya sangat sedikit.
Permasalahan ini memang menjadi masalah global. Sehingga butuh kesadaran bagi setiap elemen masyarakat, untuk mencoba mengurangi penggunaan elektronik yang tidak diperlukan. Salah satunya adalah dengan mengetahui waktu yang tepat ganti smartphone. Dikarenakan smartphone merupakan salah satu penyumbang sampah elektronik terbesar di Indonesia.
Selain itu, masyarakat sebagai konsumen juga harus menjaga keawetan barang elektronik, dan harus tau kapan waktu yang tepat dalam membeli barang elektronik. Apalagi jika di daerah kamu belum ada perusahaan yang pengolah sampah elektronik. Jadi, harus bisa meningkatkan kesadaran dalam pengelolaan sampah ya, kawan-kawan!